Beranda | Artikel
Yang Bodoh Terhadap Agama, Rentan Dengan Kesesatan
Kamis, 29 Juni 2017

YANG BODOH TERHADAP AGAMA, RENTAN DENGAN KESESATAN

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia di atas fitrah, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

 (Sesuai) fitrah Allâh disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. [Ar-Ruum/30:30]

Dan di antara fitrah bawaan pada diri manusia adalah mencintai al-haq (kebenaran) dan menginginkannya.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Hati itu mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya”. [1]

Di tempat lain, Syaikhul Islam rahimahullah bahkan mengatakan, “Sesungguhnya al-haq itu dicintai oleh fitrah (manusia). Ia amat dicintai dan diagungkan oleh fitrah manusia, serta lebih nikmat dibandingkan dengan kebatilan yang sebenarnya tidak memiliki kenyataan. fitrah manusia tidak menyukainya (kebatilan)”. [2]

Karena itu, jiwa-jiwa manusia jika masih berada dalam fitrahnya, maka tidaklah ingin mencari kecuali kebenaran. Dan kebenaran itu amatlah jelas, tidak samar sekali.

Al-Haq (kebenaran) itu amat jelas lagi terang. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? [Al-Qamar/54:17].

Allâh memudahkan lafazhnya untuk dibaca dan memudahkan maknanya untuk dipahami.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ

Sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar.[3]

Dan ijma’ Ulama telah terbentuk untuk menguatkan prinsip ini. [4]

Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata:

فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا

Sesungguhnya ada cahaya pada kebenaran itu.[5]

Oleh karena itu, kebatilan hanya laku pada orang yang tidak memiliki ilmu dan ma’rifah sama sekali, dan tidak memiliki perhatian terhadap nash-nash al-Qur`an dan Sunnah serta ucapan-ucapan Sahabat dan Tabi’in.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya muncul penentangan orang yang menentang, dikarenakan kedangkalan ilmu mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Al-Haq (kebenaran) itu diketahui oleh setiap orang. Sesungguhnya kebenaran yang Allâh mengutus para rasul untuk membawanya tidak samar dengan perkara lain bagi orang yang tahu, sebagaimana emas murni tidak samar dengan emas palsu bagi tukang emas”. [7]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya asy-Syari’ (penentu syariat) Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan untuk seluruh hal yang melindungi (manusia) dari berbagai kebinasaan, nash-nash yang mematahkan seluruh alasan”.[8]

Beliau rahimahullah juga bertutur, “Dan sering kali kebenaran terbengkalai di tengah orang-orang jahil lagi buta huruf, di tengah orang-orang yang suka merubah-rubah teks yang pada diri mereka ada cabang kemunafikan”. [9]

Ideologi Syi’ah yang digulirkan oleh Abdullah bin Saba` yang  asli Yahudi, yang merupakan keyakinan yang paling sesat, hanya laku di tengah sebagian kaum Muslimin dikarenakan kebodohan terhadap agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya orang yang mengada-adakan ideologi  Syiah, adalah seorang zindiq (kafir),  mulhid lagi musuh Islam dan umat Islam, bukan termasuk penganut bid’ah yang mentakwil nash-nash, seperti Khawarij dan Qadariyah. Kendatipun pemikiran Syi’ah diterima setelah itu oleh kaum yang ada pada diri mereka keimanan, karena kebodohan mereka yang parah”.[10]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Faktor-faktor penghalang dari menerima kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah al-jahl  (ketidaktahuan, kebodohan). Faktor inilah yang dominan pada kebanyakan manusia. Sesungguhnya orang yang tidak mengenal sesuatu, ia akan menentangnya dan menentang orang-orang yang melakukannya”. [11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  mengatakan:

وَلَا تَجِدُ أَحَدًا وَقَعَ فِيْ بِدْعَةٍ إِلَّا لِنَقْصِ اتِّبَاعِهِ لِلسُّنَّةِ عِلْمًا وَعَمَلًا. وَإِلَّا فَمَنْ كَانَ بِهَا عاَلِمًا وَلَهَا مُتَّبِعًا, لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ دَاعٍ إِلَى الْبِدْعَةِ. فَإِنَّ الْبِدْعَةَ يَقَعُ فِيْهَا الْجُهّاَلُ بِالسُّنَّةِ

Dan tidaklah kamu mendapati seseorang yang terjerumus dalam bid’ah kecuali karena ia kurang mengikuti petunjuk Sunnah dalam aspek pengetahuan dan pengamalannya. Sebab, orang yang mengetahui petunjuk Sunnah, dan mengikutinya, maka tidaklah ada pada dirinya pemicu kepada bid’ah.  Sesungguhnya hanya orang-orang bodoh terhadap petunjuk Sunnah saja yang terjerumus di dalam bid’ah”. [12]

Dengan demikian, sudah sewajibnya setiap Muslim dan Muslimah mempelajari agamanya, agar dapat mengenal kebenaran yang datang dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik dan kemudian mengamalkannya.

Barang siapa kurang semangat untuk menyingkirkan kebodohan dari dirinya, orang seperti ini kebodohannya tidak dapat  ditoleransi.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Celaan akan melekat pada orang yang telah jelas  baginya kebenaran lalu ia meninggalkannya, atau orang yang kurang semangat dalam mencarinya, sehingga kebenaran tidak menjadi jelas baginya, atau orang yang berpaling untuk mencari ilmu tentang kebenaran,  gara-gara hawa nafsu, kemalasan atau hal-hal  serupa lainnya”. [13]

Al-Allamah Muhammad ash-Shalih al-Utsaimin rahimaullah berkata, “Bisa juga seseorang tidak dimaafkan karena kebodohannya. Hal ini ketika ia masih memungkinkan untuk belajar, namun ia tidak melakukannya, padahal ada syubhat yang mengitari dirinya. Seperti seseorang yang dikatakan kepadanya, “Ini perkara haram”, dan sebelumnya ia meyakini kehalalannya, maka  sedikit banyak akan terjadi syubhat pada dirinya. Saat itulah ia wajib belajar (ilmu agama), agar ia dapat mencapai hukum (sebenarnya) dengan yakin”.

Manusia dengan keadaan seperti ini, mungkin saja tidak kita toleransi kebodohannya, karena ia memandang belajar agama dengan sebelah mata. Sikap tafrith tidaklah menggugurkan udzur (alasan).  Akan tetapi, orang yang jahil  (tidak tahu), kemudian tidak ada syubhat apapun pada dirinya dan ia meyakini bahwa keadaan yang ia pegangi adalah kebenaran atau ia mengatakannya karena menganggap  itu adalah kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa ia tidaklah hendak  menentang (kebenaran) dan tidak ingin berbuat maksiat dan kekufuran. Karenanya, tidak mungkin kita  mengkafirkannya, meski ia buta terhadap salah satu prinsip agama (ushuluddin)”. [14] WAllâhu a’lam.

(Diringkas dari ash-Shawârifu ‘anil Haqq, Hamd bin Ibraahiim al-Utsmaan, ad-Daarul Atsariyyah tanpa tahun,  halaman. 5-11.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Majmû al-Fatâwâ 10/88.
[2] Majmû al-Fatâwâ 16/338.
[3]  Muttafaqun ‘alaih dari hadits an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu
[4]  Taudhîhul Kafiyati asy-Syafiyah, hlm.79.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam  al-Mustadrak  4/460. Al-Hâkim berkata, “Sesuai syarat Syaikhain”, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[6]  I’lâmul Muwaqqi’in 1/44.
[7]  Majmû al-Fatâwâ 27/315-316.
[8]  Dar`u Ta’ârudhil Aqli wan Naqli 1/73.
[9]  Majmû al-Fatâwâ 25/129.
[10]  Minhaju as-Sunnah 4/363.
[11]  Hidâyatul Huyara fi Ajwibati al-Yahudi wan Nashara hlm. 18.
[12]  Syarhu Hadîts ‘Lâ Yazni az-Zani’ hlm.35.
[13]  Iqtidhâ ash-Shirâthil Mustaqim 2/85, cetakan Al-Ifta yang ketujuh.
[14]  Asy-Syarhul Mumti’ 6/193-194.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6976-yang-bodoh-terhadap-agama-rentan-dengan-kesesatan.html